Minggu, 26 Mei 2013
Tulisanku
SECERCAH ASA DI HARI PENDIDIKAN NASIONAL
OLEH : WENNI MELIANA, S.Pd.
Tanggal 2 Mei, hari yang spesial bagi mereka yang berkecimpung di dunia pendidikan. Setiap tanggal itu kita memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) sekaligus memperingati hari lahir Ki Hajar Dewantara sebagai pahlawan pelopor pendidikan di Indonesia. “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya”. Beliau lahir di Yogyakarta, tanggal 2 Mei 1889 dan meninggal dunia tanggal 26 April 1959, diberi nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat yang berasal dari keluarga kaya di lingkungan kraton Yogyakarta.
Selain seorang pendidik, Ki Hajar Dewantara juga wartawan yang aktif dalam organisasi sosial dan politik. Karya-karya yang menjadi landasan dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia yakni kalimat-kalimat filosofis “Ing ngarso sung tulodo (di depan memberi teladan), Ing madyo mangun karso ( di tengah membangun karya / tekad ), Tut wuri Handayani (di belakang memberi dorongan)” menjadi slogan pendidikan yang digunakan hingga saat ini dan sangat relevan sepanjang masa. Pada 3 Juli 1922, beliau mendirikan sebuah perguruan bercorak nasional yang bernama Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Taman Siswa). Atas jasanya dalam merintis pendidikan umum di Indonesia, Ki Hajar Dewantara dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional dan berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959 tertanggal 28 Nopember 1959, hari kelahiran Ki Hajar Dewantara yaitu tanggal 2 Mei ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Mohammad Nuh pada upacara Peringatan Hardiknas 2 Mei 2013, dibacakan langsung di Kemendikbud, Senayan Jakarta, juga dibacakan oleh seluruh kepala daerah di seluruh penjuru tanah air, serta di KBRI-KBRI, menghasilkan secercah asa. Selain menyampaikan permintaan maaf atas persoalan penyelenggaraan UN Tingkat SMA sederajat tahun pelajaran 2012/2013 juga mengajak kepada semua pencinta dunia pendidikan untuk bersama-sama membuka posko anti drop out (DO) atau anti putus sekolah pada awal tahun pelajaran nanti. Tema Hardiknas tahun ini “Meningkatkan Kualitas dan Akses Berkeadilan” bagai memupuk mimpi. Dilatarbelakangi oleh pendidikan sebagai vaksin sosial dan elevator sosial untuk dapat meningkatkan status sosial. Dalam perspekstif sosial kemasyarakatan, ada tiga penyakit sosial yang dampak negatifnya sangat besar yaitu kemiskinan, ketidaktahuan, dan keterbelakangan peradaban. Cara menaikkan daya tahan (imunitas) sosial agar terhindar dari ketiga macam penyakt itu jawabannya adalah pendidikan.
Tema itu merupakan cerminan dari jawaban terhadap tantangan, persoalan, dan harapan seluruh masyarakat dalam menyiapkan generasi yang lebih baik. Layanan pendidikan harus dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat sesuai dengan prinsip pendidikan untuk semua (Education for All) tanpa membeda-bedakan asal usul, status sosial, ekonomi dan kewilayahan.
UUD 1945 mengamanatkan bahwa setiap warga Negara berhak memperoleh pendidikan dasar dan Negara wajib membiayainya (Pasal 31 ayat 1 dan 2 UUD 1945). Akses pendidikan dipengaruhi oleh ketersediaan satuan pendidikan dan keterjangkauan dari sisi pembiayaan.
Sementara, persoalan-persoalan pendidikan yang dihadapi mulai rendahnya kualitas pendidikan; kurang profesionalnya para pengajar terbukti rata-rata hasil UKG di bawah standar; pembayaran tunjangan sertifikasi guru yang tertunda dan kisruh; biaya pendidikan yang mahal; sarana prasarana pendidikan di daerah terpencil tertinggal jauh; kacaunya pelaksanaan Ujian Nasional Tingkat SMA sederajat; kecurangan-kecurangan dalam UN; maraknya perkelahian pelajar; narkoba; korupsi; kualitas dan mutu pendidikan kurang merata, daerah terpencil sering terabaikan baik sarana maupun tenaga pengajar yang hanya menumpuk di perkotaan sehingga untuk memenuhi beban mengajar minimal 24 jam tatap muka perminggu sebagai syarat pencairan tunjangan sertifikasi guru, banyak guru yang meradang; merupakan hal yang tidak bisa kita pandang sebelah mata saja.
Fenomena lain, oknum pendidik terjaring Satpol PP dalam razia mesum, meningkatnya pasangan PNS yang mengajukan cerai dengan alasan ketidakcocokan, pergaulan bebas di kalangan remaja Banjarmasin. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin tercatat ada 148 kasus seks pranikah selama tahun 2011. Saat Hardiknas ditemukan tujuh guru PNS, empat guru honorer, dan dua PNS nonguru terjaring saat asyik berbelanja sekitar pukul 10.00 Wita di pasar-pasar tradisional. Selepas merazia tenaga pendidik, dari tiga warnet di jalan Bali dan satu warnet di jalan Pengambangan aparat Polisi Pamong Praja menjaring 27 pelajar. Satu anak SMA, sisanya anak SMP (Radar Banjarmasin, Jumat 3 Mei 2013). Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.
Itu baru sekelumit fenomena, masih banyak fenomena lainnya. Fritjof Capra (The Turning Point, 2007) menyatakan bahwa krisis global yang serius, telah menyentuh setiap aspek kehidupan, baik secara sosial maupun budaya. Saat ini krisis merambah dimensi intelektual, moral, dan spiritual. Dikhawatirkan lambat laun akar-akar nilai dan keyakinan semakin tercabut dari jiwa manusia
Fakta di lapangan, potret pendidikan di Kalimantan Selatan masalah jarak masih dialami setiap tahun oleh siswa, seperti siswa SDN Datarbatung, Kecamatan Batang Alai Timur, HST yang 5 jam berjalan kaki menempuh jarak sampai 15 km demi mengikuti Ujian Nasional (B.Post, Jumat 3 Mei 2013). Ditemukannya beberapa Sekolah Laskar Pelangi, seperti MTs Batutangga, Batang Alai Timur, Hulu Sungai Tengah, sekolah swasta yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat. Bangunan sekolah berdinding kayu, berlantai tanah, dan atap bolong-bolong , mayoritas siswa bersandal jepit, namun memiliki semangat yang luar biasa untuk bersekolah. (B.Post, Kamis 16 Mei 2013). SDN Batakan 3 Pulau Ubi Desa Panyipatan, Tanah Laut, yang hanya memiliki 13 murid, dari kelas satu hingga enam. Jumlah guru cuma empat orang termasuk kepala sekolah,. Sekolah yang hanya punya dua ruang yang berfungsi untuk kelas, kantor, dan dapur. Tahun ini tidak ada siswanya yang ikut UN karena putus sekolah. Di Banjarmasin sebagai ibukota provinsi, kondisi mengenaskan dialami guru dan siswa SDN Basirih 10, karena proses persekolahan sangat tergantung pasang surutnya air sungai.
Meski secara statistik dunia pendidikan terus mengalamai kemajuan. Mulai soal anggaran yang terus naik, jumlah guru yang mencukupi bahkan berlebih, kualitas pendidikan yang terus membaik, prestasi siswa Kalsel lainnya tak kalah di level nasional bahkan internasional, hasil UN Kalsel menembus peringkat 10 besar nasional dalam beberapa tahun terakhir, namun angka putus sekolah masih tinggi. Data Dinas Pendidikan Provinsi Kalsel tahun 2012/2013, angka putus sekolah tingkat SD sederajat mencapai 1000 siswa, tingkat SMP sederajat untuk siswa angkanya mencapai 363 orang, siswi mencapai 367 orang, dan tingkat SMA sederajat laki-laki mencapai 269 orang dan perempuan 253 orang. Dengan Kabupaten Banjar sebagai daerah dengan angka putus sekolah terbanyak disusul Kota Banjarmasin urutan kedua. Perlu aksi nyata untuk mengatasi hal ini.
Masalah dunia pendidikan Kalsel menyangkut Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka Partisipasi Kasar (APK). APM dan APK PAUD dan SMA sederajat perlu perhatian khusus. Selama tiga tahun terakhir APM dan APK PAUD mengalami peningkatan. Namun dari jumlah penduduk usia PAUD baru tertampung 40,62 %. Sedangkan APM dan APK untuk SMA sederajat, meski mengalami peningkatan, namun masih ada jumlah penduduk usia 16 – 18 tahun APM yang masih harus dituntaskan sebesar 29,69 % dan APK yang harus dituntaskan 21,28 %.
Sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas pendidikan, Pemerintah akan menerapkan Kurikulum 2013 untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah secara bertahap dan terbatas. Bertahap berarti kurikulum tidak diterapkan di semua kelas di setiap jenjang. Untuk tingkat SD akan diberikan di kelas I dan IV , tingkat SMP pada kelas VII dan tingkat SMA pada kelas X. Terbatas artinya tidak semua sekolah menerapkannya, jumlah sekolah yang melaksanakannya disesuaikan dengan tingkat kesiapan sekolah.
Kurikulum 2013 dirancang untuk menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan sikap (attitude) secara utuh. Kurikulum ini penuh pro dan kontra, serta sentilan ganti menteri ganti kurikulum, sejak digulirkannya uji publik struktur kurikulum 2013 sampai sosialisasinya. Ditetapkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, sebagai bukti Pemerintah serius dalam kurikulum baru ini. Anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.
Dalam Q.S.An Nisaa’ ayat 59 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Perubahan itu sesuatu keniscayaan jika ingin terus maju dan berkembang. Mau tidak mau seorang guru akan menghadapinya. Namun kesiapan guru lebih penting daripada pengembangan kurikulum itu sendiri. Guru harus tahu arah perubahan ke depan dari kurikulum itu sendiri , kompetensi abad 21 serta penyiapan generasi emas 2045. Untuk itu guru harus menguasai empat aspek kompetensi. UU No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi professional. Pasal 28 ayat 1 PP No.32 tahun 2013 tentang perubahan atas PP No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menyatakan Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan Tujuan Pendidikan Nasional.
Undang-Undang RI No.20 Tahun 2003 pasal 3 menyebutkan Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sungguh cita-cita yang sangat mulia.
Hari Pendidikan Nasional menjadi momentum yang tepat untuk melihat pendidikan yang kita selenggarakan. Semangat perjuangan dari para pahlawan pendidikan harus terus terjaga. Pemerintah terutama pemerintah daerah agar lebih peduli terhadap pendidikan; kekacauan UN tahun ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak untuk lebih serius memikirkan dunia pendidikan, tidak cukup hanya dengan permintaan maaf; pemahaman masyarakat lebih ditingkatkan akan pentingnya pendidikan, pandangan yang ada di kalangan masyarakat adalah untuk bisa bekerja itu perlu dibenahi; semua warga sekolah baik itu Kepala Sekolah, guru, tenaga kependidikan lainnya serta anggota keluarga (orang tua dan siswa) perlu memahami fungsi dan tujuan pendidikan yang akan dicapai serta terus menegakkan akhlak dan keteladanan yang baik meniru akhlak Nabi Muhammad SAW, yakni Sidik (benar), Amanah (dapat dipercaya), Tabligh (menyampaikan), dan Fathonah (cerdas).
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”. (Q.S.Al Anfaal:27)
Jika pemerataan guru sesuai pemetaan di lapangan, UPTD pendidikan di setiap kecamatan dan pengawas yang langsung bersentuhan dengan kepala sekolah dan guru berfungsi dengan baik , tunjangan guru lancar baik di daerah terpencil ataupun tidak, semua guru diberi kesempatan besar ikut pelatihan demi peningkatan kompetensi, sarana prasarana pendidikan dilengkapi secara merata terutama sekolah-sekolah di daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal); Dana BOS dan BSM sesuai peruntukannya dan tidak tersendat-sendat; Kepala Dinas Pendidikan berlatar belakang guru, maka kualitas pendidikan tentu meningkat tajam.
Memastikan akses setara dalam pendidikan untuk semua murid mungkin lebih merupakan masalah nilai-nilai daripada masalah persiapan. Asumsi dasar tentang orang yang tampak berbeda harus diubah dari membantu perkembangan sistem penyampaian pelayanan terpisah menjadi memastikan kesetaraan dalam pendidikan. Kita harus mengusahakan untuk sekolah-sekolah kita, guru yang berkemauan dan mampu membuat adaptasi kurikulum yang tepat dan guru yang memahami keragaman murid di kelas mereka. Kita membutuhkan masyarakat untuk benar-benar memikirkan pembaruan bersama sekolah-sekolah dan pendidikan guru. Professional pendidikan harus bisa meruntuhkan dinding pemisah antar guru, merancang kembali kurikulum untuk memungkinkan akses pembelajaran lebih banyak murid, membuat komitmen kuat untuk mempersiapkan guru secara berbeda, dan merekrut guru dari beragam latar belakang yang memiliki keterampilan analitis dan kepedulian untuk orang lain.
Dengan semangat Hardiknas, semoga semua usaha kita untuk memajukan dunia pendidikan menjadi semakin berkualitas dan akses pendidikan bagi rakyat Indonesia secara keseluruhan semakin terbuka dan dapat terwujud. Sebagai insan pelaku dan penentu kualitas pendidikan di masa depan, marilah meningkatkan segenap upaya, tenaga dan pikiran terbaik demi kemajuan dunia pendidikan dan keikhlasan kita dalam memberikan layanan pendidikan kepada masyarakat. Semoga apa yang kita lakukan dalam dunia pendidikan selama ini, menjadi bagian dari amal ibadah kita. Amin…Maju terus pendidikan Indonesia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar